URGENSI PERAN PENDIDIK DALAM UPAYA UNTUK MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA

Oleh : Amang Fathurrohman, M.PdI

A. Pendahuluan: Membaca Kondisi Pendidikan Indonesia

Secara historis, pendidikan sekaligus sistem dan institusinya sebenarnya telah hadir mengiringi perkembangan peradaban manusia semenjak tahun 900-an SM. Pada saat itu sistem pendidikan mula-mula dikembangkan di Kota Sparta. Berikutnya kita mengenal adanya Academia di Yunani, Padepokan atau Pesantren di Jawa, Monastery di kalangan Gereja, Madrasah di kalangan Muslim, ataupun Santinekatan di India dan sebagainya.[1]

Pelbagai institusi tersebut diyakini bisa mengubah manusia menjadi lebih baik, lebih beradab dan lebih berbudaya. Pergumulan manusia dengan lingkungan alam yang keras telah mendidik manusia untuk bersikap dan berwatak keras pula. Karena itulah, pendidikan hadir untuk membuat manusia berhati lembut, berbudi luhur, saling mengasihi antar sesama dan memperlakukan lingkungan alam secara manusiawi. Hadirnya modernisasi di segala lini dewasa ini juga merupakan sumbangsih pemikiran dari dunia pendidikan pula.[2]

Hal tersebut merupakan cita-cita pendidikan, yakni mewujudkan manusia menjadi beradab dan berbudi luhur, manusia yang berperasaan dan menghargai hakikat manusia lainnya sebagai sesama yang harus dicintai. Pendidikan tidak memandang si kaya dan si miskin karena pendidikan adalah wilayah netral yang bisa dimasuki oleh siapa saja tanpa memandang identitas.

Hal tersebut juga telah disadari sejak lama oleh bangsa Indonesia.  Kesadaran bangsa Indonesia akan pentingnya pendidikan begitu dalamnya sehingga dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 dengan pernyataan bahwa salah satu tujuan dibentuknya negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada pasal 31 UUD 1945 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) dinyatakan bahwa: (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang, (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.[3]

Untuk itu, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang merata dan bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang agama, status sosial, etnis, dan jenis kelamin.

Namun demikian, kesadaran yang dalam tersebut belum diikuti oleh realisasinya secara maksimal dalam pembangunan. Baru sejak beberapa tahun terakhir ini bidang pendidikan memperoleh perhatian yang proporsional dari berbagai pihak. Sejak Repelita I, walaupun pendidikan merupakan salah satu bidang pembangunan yang penting, pendidikan belum ditempatkan sebagai prioritas pembangunan.[4] Indikator ini dapat dilihat dari terbatasnya anggaran pendidikan yang disediakan. Persentase alokasi anggaran bidang pendidikan jauh di bawah alokasi dana di negara-negara maju. Sebagai akibatnya, perkembangan sumber daya manusia (SDM) Indonesia tidak sepesat negara-negara lain. Hal ini mengakibatkan proses pembangunan dan perkembangan bangsa Indonesia tidak secepat bangsa-bangsa lain yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas pembangunan.

Hal ini berdampak pada pendidikan yang masih didominasi oleh mereka yang telah mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup, sehingga sebagian masyarakat Indonesia yang miskin masih belum mempunyai kesempatan pendidikan yang memadai, karena masih belum tersedianya anggaran pendidikan yang memadai.

Menurut Suyanto, masih terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara penduduk Indonesia yang sudah mengenyam pendidikan dengan yang belum tertampung oleh lembaga pendidikan yang ada. [5]

Sebagai ilustrasi dari pernyataan Suyanto di atas, berikut adalah data-data tentang kondisi pendidikan di Indonesia : Jumlah penduduk usia pra sekolah (5 – 6 tahun) sebanyak 8.259.200 baru tertampung 1.845.983 anak (22, 35%); Jumlah penduduk usia Sekolah Dasar (7 – 12 tahun) sebanyak 25.525.000  baru tertampung 24.041.707 anak (94.19%); Jumlah penduduk usia SMP (13 – 15 tahun) sebanyak 12.831.200  baru tertampung 7.630.760 anak (59,47%); Jumlah penduduk usia SMA (16 – 18 tahun) sebanyak 12.695.800  baru tertampung 4.818.575 anak (37,95%); Jumlah penduduk usia pendidikan tinggi (19 – 24 tahun) sebanyak 24.738.600 baru tertampung 3.441.429 orang (13,91%).

Sehingga tidak terlalu terkejut apabila hasil riset tentang kemampuan membaca untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) yang dilaksanakan oleh organisasi International Educational Achievement (IEA) menunjukkan bahwa siswa SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Sementara untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), studi untuk kemampuan matematika siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-39 dari 42 negara, dan untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) hanya berada pada urutan ke-40 dari 42 negara peserta.[6]

Kondisi ini sebenarnya sangat disadari oleh pemerintah Indonesia. Berbagai usaha telah dilakukan, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru, penyediaan dan perbaikan sarana/prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu yang cukup menggembirakan,[7] namun mayoritas pendidikan di desa dan pinggiran kota masih masih jauh dari kelayakan standar pendidikan yang bermutu.

Menurut Eman Suparman, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.

Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipilih semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi. Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.

Kedua, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, sehingga sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.

Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat pada umumnya selama ini lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). Berkaitan dengan akuntabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingan dengan pendidikan.[8]

Kompleksitas problematika pendidikan di Indonesia tersebut telah banyak mengundang para pemikir dan praktisi pendidikan untuk memberikan sumbangsih hasil pemikiran, uneg-uneg, dan tawaran solusi praktis dalam mengurai “benang kusut” yang terjadi salah satunya melalui forum ini.

B. Guru sebagai pengajar dan pendidik

Melihat problem pendidikan di Indonesia yang masih semrawut dan jauh dari harapan, maka pemecahan persoalan pendidikan di Indonesia tidak cukup hanya berpangku dan terpaku pada pihak tertentu saja, namun juga semua pihak harus memberikan kontribusi positif bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Salah satu pihak yang mempunyai peran besar dalam persoalan besar ini adalah guru.

Yang dimaksud guru adalah sebagai berikut: (a) Dalam kamus umum bahasa Indonesia dinyatakan : “Guru adalah orang yang kerjanya mengajar[9]. Sedangkan dalam Athiyah Al-Abrasyi mengatakan : “Guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi seorang murid ialah memberi santapan jiwa dengan ilmu pendidikan akhlak dan membenarkannya, maka menghormati guru itulah mereka hidup berkembang, sekiranya guru itu menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya.”

Dari defenisi di atas dapat di peroleh pemahaman, bahwa guru identik dengan istilah orang yang mengajar dan orang yang mendidik kepada siswa untuk menambah pengetahuan. Yang dimaksud mengajar dalam hal ini adalah membantu anak berkembang dan menyesuaikan diri kepada lingkungan”. Sedangkan mendidik adalah suatu usaha untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaannya baik secara jasmani maupun rohani. Jadi pengertian mendidik lebih bersifat mendasar, tidak sekedar transfer of knowledge tetapi juga transfer of valuase”.[10]

Oleh karena itu, seorang guru adalah orang yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan perkembangan anak didiknya luar dan dalam, jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya.[11]

Namun realitasnya mungkin tidak semudah sebagaimana kita membaca konsep pendidikan. Dalam implementasinya guru dan institusi pendidikan di Indonesia sering terjebak dan tidak bisa membedakan antara pengajaran dan pendidikan atau minimal menyeimbangkan keduanya.

Di sekolah-sekolah dasar sampai menengah dan umum, termasuk juga di perguruan tinggi, yang sesungguhnya terjadi bukanlah pendidikan dalam arti sebenarnya, tapi sekedar pengajaran. Transformasi yang terjadi hanya sebatas transformasi yang hanya melibatkan peran keilmuan guru dan kebodohan murid. Asumsinya, murid menjadi pintarberkat pengajaran sang guru.

Pendidikan dianggap tidak begitu penting, mungkin saja karena hasilnya dianggap kurang konkrit. Justru pengajaranlah yang begitu ditekankan habis-habisan. “Pendidikan dan Pengajaran” yang menjadi jargon system pendidikan di Indonesia selama bertahun-tahun, dengan demikian, menghasilkan format yang tidak seimbang. Dalam “pengajaran”, guru akan bertindak sebagai orang yang paling pintar di kelas, dan siswa adalah objek yang dikenai blue print kemana guru berkehendak, sementara dalam “pendidikan”, yang lebih ditekankan adalah transformasi perilaku, transformasi etika, transformasi moralitas, dan bukan transformasi gaya berfikir. Tentu konsep pendidikan sesungguhnya mempunyai ruang lingkup yang lebih luas ketimbang sekedar pengajaran.[12]

Ada kecenderungan yang memperihatinkan dewasa ini, dimana system pendidikan kita semakin lama semakin menjauhi substansi tujuan pendidikan itu sendiri. Lembaga pendidikan memang marak ada dimana-mana, namun dari mereka jarang yang membawa misi pendidikan itu sendiri, tak lain sekedar pengajaran, dimana ada transformasi pengetahuan tenang ABC agar siswa juga paham tentang ABC juga tanpa harus tahu darimana ABC didapatkan. Lebih ironis lagi, maraknya institusi pendidikan ini, secara cermat bisa dikatakan lebih banyak bertujuan untuk kepentingan institusi itu sendiri, bukan untuk kecerdasan siswa. Mungkin bisa dikemukakan, dalam skala prioritas tujuan untuk mencerdaskan anak didik mungkin bisa diurutkan nomor yang paling buncit, yang penting bagaimana institusi bisa meraih keuntungan maksimal.[13] Dengan kata lain, lembaga pendidikan, dalam hal ini sekolah dan perguruan tinggi, ternyata hanya mampu mencetak manusia-manusia tua, bukan manusia-manusia dewasa.

Oleh karena itu, dalam mengatasi persoalan ini harus ada upaya bersama untuk menyeimbangkan makna antara pengajaran dan pendidikan. Keduanya perlu mendapatkan perhatian yang serius. Memang, pendidikan sering dinisbatkan orang sebagai transformasi dalam arti yang sangat luas dan tak terjangkau, tidak hanya di sekolah-sekolah saja. Namun yang demikian itu tentu bukan berarti dalam sekolah tidak ada pendidikan. Justru di sekolah-sekolah itulah pendidikan mempunyai makna yang penting untuk pertama kali diaplikasikan. Dalam ruangan yang sempit itulah, konsep pendidikan yang sebenarnya bisa “diajarkan”, oleh guru yang mewakili realitas sosial kepada murid.

C. Pentingnya peran pendidik dalam upaya meningkatkan kecerdasan bangsa

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 1 UU RI No. 20 th. 2003) bangsa Indonesia telah merumuskan tujuan pendidikan di Indonesia, yakni :

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.

Dari rumusan di atas, kecerdasan merupakan satu point penting tujuan pendidikan Indonesia disamping harus memiliki: (1) kekuatan spiritual keagamaan, (2) pengendalian diri, (3) kepribadian, (4) akhlak mulia, serta (5) ketrampilan.

Artinya bahwa dalam menerapkan dan mengimplementasikan pendidikan, tidak hanya terpaku kepada satu tujuan ansich (misalnya kecerdasan saja), namun harus bersifat holistik dengan tujuan yang lain agar bisa membentuk satu karakter manusia Indonesia seutuhnya.

Hal ini penting untuk ditandaskan agar dalam dalam proses pendidikan di Indonesia tidak terjadi miss oriented. Dari titik inilah pendidik mempunyai peran yang sangat, amat dan terlalu penting, karena beratnya misi yang harus diemban oleh pendidik.

Untuk mewujudkan misi ini, tugas ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pendidik (yang nota bene dipersepsikan guru) namun juga merupakan tugas semua pihak, salah satunya adalah pemerintah.

Pada pasal 31 UUD 1945 ayat (3) dinyatakan bahwa: Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

Artinya bahwa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak hanya pendidik yang bertanggung jawab atas generasi bangsa, namun pemerintah juga mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan hal tersebut.

Kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar pun hingga saat ini masih sangat jauh dari yang diharapkan. Masih terlalu banyak penduduk Indonesia yang belum tersentuh pendidikan. Selain itu, layanan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu pun masih hanya di dalam angan. Lebih jauh, anggaran untuk pendidikan (di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan) di dalam APBN maupun APBD hingga saat ini masih dibawah 20% sebagaimana amanat pasal 31 ayat 4 UUD 1945 dan pasal 49 UU No. 20/2003, bahkan hingga saat ini hanya berkisar diantara 2-5%.

Sementara di berbagai daerah, pendidikan pun masih berada dalam kondisi keprihatinan. Mulai dari kekurangan tenaga pengajar, fasilitas pendidikan hingga sukarnya masyarakat untuk mengikuti pendidikan karena permasalahan ekonomi dan kebutuhan hidup. Pada beberapa wilayah, anak-anak yang memiliki keinginan untuk bersekolah harus membantu keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup karena semakin sukarnya akses masyarakat terhadap sumber kehidupan mereka.

Belum lagi bila berbicara pada kualitas pendidikan Indonesia yang hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini sangat membuat peserta didik menjadi pintar namun tidak menjadi cerdas. Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan pula karena paradigma pemerintah Indonesia yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri yang sedang gencar-gencarnya ditumbuhsuburkan di Indonesia.

Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat ini masih cenderung mengeksploitasi pemikiran peserta didik. Indikator yang dipergunakanpun cenderung menggunakan indikator kepintaran, sehingga secara nilai di dalam rapor maupun ijasah tidak serta merta menunjukkan peserta didik akan mampu bersaing maupun bertahan di tengah gencarnya industrialisasi yang berlangsung saat ini.

Pendidikan juga saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Ironinya, ketika ada inisiatif untuk membangun wadah-wadah pendidikan alternatif, sebagian besar dipandang sebagai upaya membangun pemberontakan.

Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah standar mutu bila dibandingkan dengan bangsa asing.

Oleh karena itu, guru sebagai pendidik dan memang menjadi pendidik generasi bangsa adalah salah satu harapan untuk memecahkan persoalan pendidikan ditanah air Indonesia tercinta ini. Bantuan dan campur tangan pemerintah dalam dunia pendidikan dalam satu sisi memang sangat membantu, namun sangat tidak bijak apabila seorang guru harus menunggu uluran tangan dewa agar persoalan untuk mencerdaskan generasi bangsa dapat terurai dengan sendirinya. Disinilah posisi guru yang memang harus tampil sebagai guru bangsa. Semoga kita semua menjadi salah satu bagian tersebut. Amin.

Sengonagung, 23 Desember 2007


[1] Benny Susetyo, Vox Populi Vox Dei, (Malang: Averroes Press, 2004) hlm. 160

[2] Ibid, hlm 162

[3] Depdiknas, Grand Design Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun 2006 – 2009, Edisi 2006, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Direktorat Pembinaan SMP, 2006). Hlm.1-2

[4] Ibid., Hlm. 2

[5] Suyanto, Persoalan Pendidikan Kita (www.dikdasmen.depdiknas.go.id)

[6] Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 – 2004 (http://www.puskur.or.id/index.php?option= com content&task=view&id=17&Itemid=43 di update pada 8 Juni 2005)

[7] Eman Suparman, Manajemen Pendidikan Masa Depan, (http://www.depdiknas.go.id/publikasi/Buletin/ Pppg_Tertulis/08_2001/manajemen_ pendidikan_masa_depan.htm, Up date pada 15 Mei 2005)

[8] Ibid.

[9] WJS. Poerwadarminto, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, hlm.335

[10] M. Sardiman, 1996, Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers, hlm 53

[11] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. hlm. 65

[12] Benny Susetyo, Vox Populi Vox Dei, hlm. 146

[13] Ibid, hlm. 147

Leave a comment